Perilaku Keselamatan (Safety Behavior)
Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa Inggris “behavior” dan kata tersebut sering dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, namun seringkali pengertian perilaku ditafsirkan secara berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan disekitarnya, atau bagaimana manusia beradaptasi terhadap lingkungannya. Perilaku, pada hakekatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja.
Menurut Zhou et al., (2007) ada empat faktor yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu: safety attitudes, employee’s involvement, safety management systems and procedures, and safety knowledge. Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku keselamatan secara maksimal guna mencapai total budaya keselamatan.
Rundmo dan Hale (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude) manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan. Hasil studi menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap yang ideal untuk manajemen adalah:
- Komitmen yang tinggi.
- Kefatalan rendah.
- Toleransi terhadap pelanggaran rendah.
- Emosi dan kekhawatiran tinggi.
- Tunakuasa rendah.
- Prioritas keselamatan tinggi.
- Penguasaan dan kesadaran tinggi.
Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku keselamatan pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan tambang. Dari studi yang dilakukan diperoleh struktural model yang menunjukkan hubungan work injury secara signifikan dipengaruhi oleh:
- Pengaruh negatif
- Pengambilan resiko
- Ketidakpuasan kerja
- Umur
- Kinerja keselamatan
Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku keselamatan individu pekerja, yaitu:
- Faktor organisasi; yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi kinerja keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan persepsi terhadap resiko.
- Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk menghindari konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan rekan kerja dan ketakutan kehilangan posisi.
Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku keselamatan pekerja. Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini mungkin akan mempengaruhi persepsi pekerja terhadap iklim keselamatan, sikap keselamatan, komitmen terhadap keselamatan dan perilaku keselamatan.
OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan komunikasi merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja keselamatan untuk semua posisi diatas. Mengembangkan atau merubah budaya organisasi merupakan tantangan serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dengan menentukan target yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian mengidentifikasi keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling dibutuhkan yang dapat mengarah kebudaya keselamatan yang positif, kinerja keselamatan dapat diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini ditunjukkan pentingnya peran pimpinan dalam merubah budaya organisasi dan keselamatan. Pimpinan disini bukan hanya pada tingkatan manajemen akan tetapi sampai pada pimpinan lapangan seperti foremen (Dingsdag et al., 2008).
Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke level yang lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan perilaku keselamatan dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up approach). Keberhasilan kedua pendekatan tersebut bergantung pada ada tidaknya perubahan pada tata nilai dasar dari organisasi, itikad, dan asumsi tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005) mengusulkan metode pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan dan perilaku keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat komprehensif namun kurang memberikan solusi pada masalah keselamatan yang spesifik. Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat spesifik dalam menyelesaikan masalah keselamatan namun kurang komprehensif. Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi pendekatan kedua metode ini akan saling melengkapi dan menghasilkan perubahan yang lebih komprehensif sekaligus menyelesaikan masalah-masalah keselamatan yang spesifik. Model pendekatan terintegrasi yang diusulkan sangat baik dan dapat diterima secara konsep (DeJoy, 2005).
Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safety atau lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan peringatan dini terhadap potensi bahaya kecelakaan serta dapat mengukur perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai kinerja K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka, mendorong keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan kesadaran pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan mengarahkan konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan (IET, 2007).
Program BBS adalah merupakan program perbaikan kontinu yang melibatkan manajemen dan pekerja. Ada lima program yang harus dijalan secara kontinu dalam BBS, yaitu :
- Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja. Program ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya guna mengetahui perilaku aman dan tidak aman dari pekerja.
- Melakukan komunikasi dengan semua pekerja sebagai bentuk pembelajaran berdasarkan informasi yang diperoleh dari program pertama.
- Membuat program perencanaan implementasi BBS berdasarkan masukan dan data yang diperoleh dari program pertama.
- Implementasi perbaikan dan berbagi pembelajaran antar organisasi.
- Training dan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan dan presepsi terhadap resiko, membina individu untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar dan menguji dampak perilaku.
Program kontinu penerapan BBS